Biografi Singkat Sri Sultan Hamengkubuwana IX
Hartoni.com - Sri Sultan Hamengkubuwana IX selalu mendidik anaknya untuk mandiri sejak kecil. Pada usia 4 tahun,Gusti Raden Mas Dorodjatun hidup terpisah dari keluarganya.
Pendidikan akademik :
1. Taman kanak-kanak atau Frobel School
asuhan Juffrouw Willer di Bintaran Kidul
2. Eerste Europeesche Lagere School di
Yogyakarta (1925)
3. Hoogere Burgerschool (HBS)
setingkat SMP dan SMU di Semarang
4. Hoogere Burgerschool te Bandoeng (HBS)
di Bandung (1931)
5. Rijkuniversiteit Leiden atau Universiteit
Leiden jurusan Indologie atau ilmu tentang Indonesia kemudian jurusan ekonomi.
Sebelum dinobatkan sebagai Sultan Yogya
Sri Sultan Hamengkubuwana IX yang pada saat itu berusia 28 tahun bernegosiasi secara alot selama 4 bulan dengan diplomat senior Belanda Dr. Lucien Adam mengenai otonomi Yogyakarta.
Pada masa pendudukan Jepang, Sri Sultan Hamengkubuwana IX melarang pengiriman romusha dengan mengadakan proyek lokal saluran irigasi Selokan Mataram.
Sultan Hamengkubuwana IX bersama Paku Alam IX adalah penguasa lokal pertama yang menggabungkan diri ke Republik Indonesia.
Sultan Hamengkubuwana IX juga yang mengundang Presiden Soekarno untuk memimpin dari Yogyakarta setelah Jakarta dikuasai Belanda setelah terjadinya Agresi Militer Belanda I.
Sri Sultan Hamengkubuwana IX adalah Sultan Yogyakarta yang menentang penjajahan Belanda dan Jepang serta mendukung sepenuhnya perjuangan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.
Selain itu juga mendorong agar pemerintah Republik Indonesia memberikan status khusus bagi Provinsi Yogyakarta dengan predikat "Istimewa".
Sri Sultan Hamengkubuwana IX tercatat sebagai Gubernur terlama yang menjabat di Republik Indonesia antara 1945-1988 dan Sultan terlama dari Kesultanan Yogyakarta terlama antara 1940-1988.
Dukungannya Pada Republik Indonesia.
Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, keadaan perekonomian sangat buruk. Kas negara kosong, pertanian dan industri rusak berat akibat perang.
Blokade ekonomi yang dilakukan Belanda membuat perdagangan dengan luar negeri terhambat. Kekeringan dan kelangkaan bahan pangan terjadi di mana-mana, termasuk di Yogyakarta.
Oleh karena itu, untuk menjamin agar roda pemerintahan Republik Indonesia tetap bisa berjalan, Sri Sultan Hamengkubuwana IX menyumbangkan kekayaannya sekitar 6.000.000 Gulden, baik untuk membiayai pemerintahan, kebutuhan hidup para pemimpin dan para pegawai pemerintah lainnya.
Setelah Perundingan Renville, pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan Agresi Militer yang ke-2. Sasaran penyerbuan adalah Ibukota Yogyakarta. Selanjutnya pada tanggal 22 Desember 1948 Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Sutan Syahrir dan para pembesar lainnya di tangkap Belanda dan diasingkan ke Pulau Bangka.
Sementara itu, Sri Sultan Hamengkubuwana IX tidak ditangkap karena kedudukannya yang istimewa, dikhawatirkan akan mempersulit keberadaan Belanda di Yogyakarta.
Selain itu, waktu itu Belanda sudah mengakui Yogyakarta sebagai kerajaan dan menghormati kearifan setempat. Akan tetapi, Sultan menolak ajakan Belanda untuk bekerja sama dengan Belanda. Untuk itu, Sultan Hamengkubuwana IX menulis surat terbuka yang disebarluaskan ke seluruh daerah Yogyakarta. Dalam surat itu dikatakan bahwa Sultan "meletakkan jabatan" sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pengunduran diri Sultan kemudian diikuti oleh Sri Paku Alam. Hal ini bertujuan agar masalah keamanan di wilayah Yogyakarta menjadi beban tentara Belanda. Selain itu dengan demikian, Sultan tidak akan dapat diperalat untuk membantu musuh. Sementara itu, secara diam-diam Sultan membantu para pejuang RI, dengan memberikan bantuan logistik kepada para pejuang, pejabat pemerintah RI dan orang-orang Republiken.
Bahkan di lingkungan kraton Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwana IX memberikan tempat perlindungan bagi kesatuan-kesatuan TNI. Pada Februari 1949, dengan bantuan kurir, Sultan menghubungi Panglima Besar Sudirman untuk meminta persetujuannya melaksanakan serangan umum terhadap Belanda. Setelah mendapat persetujuan Panglima Sudirman, Sultan langsung menghubungi Letkol Soeharto untuk memimpin serangan umum melawan Belanda di Yogyakarta.
Serangan ini berhasil menguasai Yogyakarta selama sekitar enam jam. Kemenangan ini penting untuk menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia masih terus berjuang untuk mempertahankan kemerdekaannya.
Sesuai dengan hasil Perundingan Roem-Royen, maka pasukan Belanda harus segera ditarik dari daerah Yogyakarta. Pihak Belanda minta jaminan keamanan selama penarikan itu berlangsung. Untuk itu Presiden Soekarno kemudian mengangkat Sri Sultan sebagai penanggung jawab keamanan dan tugas itu dilaksanakannya dengan baik.
Pada tanggal 27 Desember 1949 ketika di Belanda berlangsung penyerahan kedaulatan, maka di Istana Rijkswik (Istana Merdeka) Jakarta, juga terjadi penyerahan kedaulatan dari Wakil Tinggi Mahkota Belanda kepada Pemerintah RIS. Sri Sultan Hamengkubuwana IX kembali mendapatkan kepercayaan untuk menerima penyerahan kedaulatan itu sebagai wakil dari pemerintahan RIS.
Semoga bermanfaat...