Budaya Lisan Adidang dan Butetah
Pekon Tanjung Jati Merupakan Desa Paling Ujung yang ada di Lampung Kabupaten Pesisir Barat Kecamatan Lemong, Pekon Tanjung Jati sendiri, bisa ditempuh melalui perjalanan darat dari kota Kabupaten selama kurang lebih 2 jam perjalanan dengan panorama pesisir pantai yang mempesona serta deretan rumah rumah penduduk khas lampung pesisir.
Di Pekon Tanjung Jati Kecamatan Lemong, Banyak Tersimpan Kekayaan Budaya salah satunya tokoh dan pelaku tradisi lisan “Adidang” yakni Bapak A Moefid Dalena, Gelar Raden Mangku Negara yang juga merupakan ahli tutur “butetah” salah satu tradisi lisan yang biasa digunakan ketika prosesi pemberian “adok” atau gelar kebangsawanan.
“Adidang” sendiri merupakan seni tutur/lisan yang digunakan sebagai pengiring pada acara “nyambai” yakni penampilan tarian yang dibawakan oleh para gadis-gadis Lampung pada suatu pesta adat yang diselenggarakan, para gadis tersebut mengenakan pakaian dan kain khas Lampung (Tapis) serta baju dan aksesoris lengkap termasuk mengenakan siger sebagai hiasan dikepala, dengan pelengkap kipas di kedua tangan, mereka menari mengikuti iringan irama gulintang dan tabuhan rebana, bergerak dengan gemulai, melambaikan kipas, dengan gerakan teratur, berdiri, membungkuk, jongkok, memutar kekiri dan kekanan, mengikuti irama dan lantunan syair adidang yang dibawakan.
Lantunan syari dalam “adidang” ini biasanya berisikan pesan pesan moral khususnya pada gadis yang sedang melakukan tarian dan umumnya kepada semua gadis yang hadir pada saat acara berlangsung, sebagai bekal mereka dalam kehidupan dan pergaulan sosial.
Lantunan syair pertama dalam “adidang” merupakan kalimat pembuka serta salam penghormatan dan pujian kepada para tetua adat dan tetua pekon:
Cabiklah cabik daunmu kangkung
Batang kemuning dibungkus kain
Tabik lah tabik kepala kampung
Kami disini numpang bumain
syair berikutnya merupan inti dari “adidang” itu sendiri yang berisikan pesan moral, bisa dalam bentuk sindiran maupun perumpamaan (dengan syair yang lebih panjang):
pulaulah pandan jauh ditengah
dibalik pulau silangsa dua
hancurlah badan dikandung tanah
budi nan baik terkenang jua
sayalah tidak menanam nanas
pohon pepaya didalam padi
sayalah tidak memandang emas
budi bahasa yang kami cari
jika mandi dihilir hilir
jika berkata dibawah bawah
tidak kan hilang intan dipasir
budi bahasa itulah tuah
kemudian untuk selanjutnya merupakan syair penutup, berupa kalimat perpisahan sebagai tanda akan berakhirnya prosesi “adidang’ itu sendiri
anaklah bugis menanam serai
kiriman anak si raja jambi
jangan menangis kita bercerai
dilain waktu bertemu lagi.
Seni Adidang dan Butetah ini adanya di Lampung Khusus nya di Pekon Tanjung Jati Kecamatan Lemong Kabupaten Pesisir.
By. Haka